Sabtu, 09 Mei 2015

ISTRI RASULULLAH SAW SAYYIDAH KHODIJAH



Sayyidah Khadijah

Kisah hidup mulia Sayyidah Khadijah Bag I


Inilah sekelumit dari samudera keindahan manaqib ibu kaum Muslimin, istri tercinta Rasulullah Saw, yaitu Sayyidatuna Khadijatul Kubra R. Anha.
Nama beliau adalah Khadijah bin Khuwailid binti Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah, nasab kakeknya bertemu dengan nasab kakek Rasulullah yang kelima. Ibu beliau bernama Fatimah binti Zaidah binti Jundub. Dilahirkan di kota Makkah tahun 68 sebelum Hijriyah. Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia, sehingga akhirnya setelah dewasa ia menjadi wanita yang cerdas, teguh, dan berperangai luhur.

Sayyidah Khadijah pada masa Jahiliyyah.

Pada masa Jahiliyyah dan sebelum bertemu Rasulullah Saw, sayyidah Khadijah adalah seorang wanita yang sangat menjaga kehormatannya dan seorang wanita saudagar yang kaya raya. Beliau pun mempekerjakan orang-orang untuk memperdagangkan barang dagangannya ke negeri Syam. Di samping itu beliau juga suka menolong mereka yang hidup dalam kekurangan dan sangat penyantun kepada orang lemah.
Sebagai wanita cantik, kaya dan berperangai luhur, banyak pria kaya yang ingin melamar Siti Khadijah. Beberapa pelamar itu adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kaya dan bersedia membayar berapapun mas kawin yang diinginkan Siti Khadijah. Tetapi wanita mulia tersebut menolak lamaran yang datang secara halus. Harta bukanlah satu-satunya penilaian dalam memilih pasangan hidup.
Suatu hari beliau mendengar tentang seorang pemuda yang bernama Muhammad bin Abdillah, disebut-sebut sebagai seorang pemuda yang berperangai luhur, santun dan jujur. Karena pada saat itu jarang sekali ada seorang pemuda yang berakhlak mulia dan sangat jujur. Maka sayyidah Khadijah berinisiatif bekerja sama denga nabi Muhammad untuk memperdagangkan barang dagangannya ke negeri Syam.  Nabi Muhammad pun menerima tawaran tersebut, maka berangkatlah beliau ke Syam dengan ditemani khodam sayyidah Khadijah yang bernama Maisaroh (seorang laki-laki). Kemudian sesampainya di Syam beliau singgah di bawah naungan pohon yang terletak dekat dengan kuil seorang Rahib. Kemudian rahib tersebut melihat kepada Maisaroh dan bertanya : " Siapa orang yang duduk di pohon itu ?, Maisaroh menjawab : " Dia adalah seorang pemuda dari bangsa Quraisy di Makkah ". Si Rahib mengatakan : " Tidaklah duduk di bawah pohon ini kecuali seorang nabi ".
Kemudian Nabi melanjutkan perjalanannya dan mengelar dagangannya, akan tetapi metode dagang beliau saw berbeda dengan yang lain. Yakni beliau saw menjelaskan harga asli yang didapat dari majikannya, menceritakan jauhnya perjalanan untuk sampai ke sini, dan beliau saw mempersilahkan pembelinya untuk memberi laba berapa. Dengan perangainya yang baik dan fisik yang baik, bersih, rapi, tinggi, dan wangi pemuda yang sempurna, dengan demikian banyak dari pembeli yang memberikan laba kepada Rasulullah saw dua kali lipat bahkan lebih. Tak heran stok dagangan untuk satu bulan habis dalam satu minggu, sampai beliau Rasulullah saw menunggu kabilah yang lain selama tiga minggu untuk pulang.
Sesampainya di Makkah, Maisaroh menceritakan kepada sayyidah Khadijah kisah perjalanan yang dialaminya bersama Nabi Muhammad yang penuh keunikan dan keajaiban sewaktu diperjalanan. Diantaranya tiap kali Nabi Muhammad berjalan selalu dinaungi oleh awan sehinggat tidak terkena panasnya terik matahari di siang hari. Maisaroh juga menceritakan sikap tindak lanjut nabi Muhammad dalam berdagang, yang penuh kejujuran, santun dan sangat professional.
Mendengar cerita maisarah, sayyidah Khadijah semakin kagum dan menaruh rasa hati kepada Nabi Muhammad Saw.  Akhirya beliau mengutus utusan wanita yaitu Nafisah binti Umayyah untuk menanyakan hajat Sayyidah Khodijah, perihal rencana lamaran dan pernikahannya kepada Nabi Muhammad Saw

Jumat, 08 Mei 2015

Biografi Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf

 

 Ilahi Bijahil Anbiya (Tawassul Habib ‘Abdurrahman bin Ahmad Assegaf)

توسل الحبيب عبدالرحمن بن أحمد السقاف نفعنا الله به وبعلومه فی الدارين ، آمين
۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰۰
Tawassul Al-Habib ‘Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, Pendiri Madrasah Tsaqafah Islamiyah, Bukit Duri – Jakarta Selatan

إلهی بجاه الأنبيا والملائگه ، وبالأولياء جد لنا بالإجابة
Ilâhî bijâhil anbiyâ wal malâ-ikah wa bil awliyâ-i jud lanâ bil ijâbati

إلهی توسلنا بقرآنك الگريم ، تنور بصيرتی وسمعی ومقلتی
Ilâhî tawassalnâ bi qur-ânikal Karîm tunawwir bashîrotî wa sam’î wa muqlatî

وتلهمنی رشدی وترزقنی علم اليقين توفقنی لحسن العبادة
Wa tulhimunî rusydî wa tarzuqunî ‘ilmal yaqîni tuwaffiqnî lihusnil ‘ibâdati

بأسمائك الحسنی تجود بتوبة ، نصوح تغفرلی ذنوبی وزلتی
Bi asmâ-ikal husnâ tajûdu bitawbatin nashûhin taghfirulî dzunûbî wa zallatî

وتنظرنی فی کل حال ولمحة ، تنجى بها من هول يوم القيامة
Wa tandhurunî fî kulli hâlin wa lamhatin tunajjî bihâ min hawli yaumil qiyâmati

وبالمصطفی الرسول تشرح لی صدری ، تيسرلی امری وتکشف کربتی
Wa bil Mushthofâr-rosûli tasyrohu lî shodrî tuyassirulî amrî wa taksyifu kurbatî

وبالأنبياء والملائگة الکرام ، تحقق بالتقوی وإدراك غايتی
Wa bil anbiyâ-i wal malâ-ikatil karîm tuhaqqiqu bittaqwâ wa idrôki ghôyatî

بهم وبالأولياء تلحقنی بهم ، وذريتی وشيعتی وعشيرتی
Bihim wa bil awliyâ-i tulhiqunî bihim wa dzurriyyatî wa syî’atî wa ‘asyîrotî

وتصرف عني کل شر بحقهم  ، وشرا لذی شر من انس وجنة
Wa tashrifu ‘annî kulla syarrin bihaqqihim wa syarron lidzî syarrin mini-nsin wa jinnati

بفضلك بشرنی بحسن الخواتم ، وبالرحمة ادخلنی بدار الإقامة
Bifadl-lika basysyirnî bihusnil khowâtimi wa birrohmati-dkhilnî bidâril iqômati

عليهم من المولی صلاة وتسليم ، ورضوان استجب إلهی مناجتى
‘Alaihim minal mawlâ sholâtun wa taslîmun wa ridlwânuni-stajib ilâhî munâjatî

 

 Nasab Beliau


Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf




Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- ImamMuhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum
Habib Abdurrahman lahir tahun 1908 di Cimanggu, Bogor. Beliau adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika beliau masih kecil, tapi kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar.

Pernah mengenyam pendidikan di Jami’at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, “Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu”. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Ketika masih belajar di Jami’at Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. “Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas (Habib Empang Bogor).”
Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas ( Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor ).
Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut “kitab kuning”. Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa.

Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri,Jakarta . Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas.
Dunia pendidikan memang tak mungkin dipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan. Beliau memang seorangguru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas. terutama dengan para ulama dan kaum pendidikJakarta.

Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyakguru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
“Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya….sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar,” kata Habib Umar merendah.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar, memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang.

Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu danSunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur’an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal mengajar, tapi juga dalam soal makan. “Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan tepat waktu.” Kata Habib Ali.

Mengenai keikhlasan dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman mengalami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam, mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan. Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar kemudian dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Wafatnya Habib Abdurrahman Assegaf

Suatu hari, seorang santri Darul Musthafa, Tarim Hadramaut, asal Indonesia, mendapat pesan dari seoranh ulama besar disana, Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab. “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, tapi wajahnya menyerupai Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong beritahu anak-anak beliau di Indonesia. Katakan, mulai saat ini, jangan jauh-jauh dari walid ( orang tua ).”
Sang santri itu langsung menelepon keluarganya di Indonesia. Hingga akhirnya kabar dari ulama Hadramaut itu diterima keluarga Habib Abdurrahman di Bukit Duri Jakarta. Seminggu kemudian, apa yang diperkirakan itu pun tiba. Tepatnya Senin Siang jam 12.45, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 rabiul Awal 1428 H, langit Jakarta seakan mengelam. Kaum muslim ibu kota terguncang oleh berita wafatnya Al-Alamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman Assegaf, dalam usia kurang lebih 100 tahun.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq dan keistiqamahannya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya yang bersahaja, tepat di sisi Sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyah, di jln. Perkutut no.273, Bukit Duri Puteran , Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Surat Yaa siin bergema sepanjang hari sampai menjelang pemakamannya keesokan harinya. Sebuah tenda besar tak mampu menampung gelombanh jemaah yang terus berdatangan bak air bah. Pihak keluarga memutuskan pemakaman akan dilakukan ba’da zhuhur di pemakaman Kampung Lolongok, tepatnya di belakang Kramat Empang.
Acara pelepasan jenazah dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga, yang diwakili Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majlis Taklim Al-Affaf itu mengucapkan terima kasih kepada para pecinta Habib Abdurrahman Assegaf yang telah datang bertakziah dan membantu proses pengurusan jenazah. Selanjutnya putra kedua Habib Abdurrahman tersebut mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum.”Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu lewat sholawat-sholawat yang tak pernah lepas dari bibirnya setiap hari.” Katanya.

Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan pun mulai sesunggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara, tampil dengan suara bergetar.
“hari ini, tidak seperti hari-hari yang lalu, kita berbicara tentang bagaimana memelihara anak yatim. Tapi, kali ini, kita semua menjadi anak-anak yatim.” Kata Habib Ali, yang mengibaratkan hadirin sebagai anak yatim. Betapa tidak, Habib Abdurrahman dianggap sebagai orang tua tidak hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh jamaah. Semasa hidupnya, beliau senantiasa mengayomi, membimbing dan setia mendengar keluh kesah jamaah. Tapi kini, sang pelita itu telah pergi. Sebagian hadirin terguguk menangis, bahkan ada yang histeris.
“Kepergian Walid sudah diramal jauh-jauh hari. Suatu hari beliau pernah berkata kepada saya, “Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah swt, setelah itu baru saya. Dan benarlah, ibunda Hj.Barkah ( istri Walid ) berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. wali juga pernah berkata kepada keluarga, “Saya pulang pada hari senin, kasih tahu saudara-saudaramu.”
Jam 12.00, jenazah disholatkan di depan kediaman Walid, dengan Imam, Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Haddad 9 Al-Hawi Condet ). Pada hari itu juga, besan Habib Abdurrahman, Syarifah Rugayah binti Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat. Pukul 13.00, iring-iringan jenazah mulai bergerak menuju Empang Bogor, melalui jalan Tol Jagorawi. Ribuan kendaraan mengiringi ambulance yang membawa jenazah.
Disaat mobil jenazah yang didihului dua mobil pengawal dari kepolisian mendekati pintu makam pukul 16.15, konsentrasi massa yang terpusat disitu luar biasa banyaknya. Suasana pun menjadi agak gaduh. Maka setelah jenazah dikeluarkan dari mobil ambulance dan dibawa menuju liang lahat sekitar 30 meter dari pintu masuk, suasana penuh kesedihan sungguh sangat terasa. Banyak yang tak kuasa menahan tangis.
Segera setelah itu, jenazah dimasukkan ke liang lahat sambil terus diiringi dzikir yang tak henti dari para jemaah.

Mewakili Shohibul bait, Habib Hamid bin Abdullah al-Kaff, pengasuh pondok pesantren Al-Haramain Asy-Syarifain Pondok Ranggon Cipayung, memberikan tausiyah, “Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam lampu yang sangat besar, yang menerangi kota Jakarta,” katanya.
“Beruntunglah murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara haul, kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marila dalam pembacaan Fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kita kirim untuk almarhum.”